Menurut pengakuan dari masyarakat ini, mereka merupakan pendatang dari Majapahit, yang melakukan asimiliasi dengan penduduk setempat yaitu Masyarakat Suku Dayak, sebagian Masyarakat ini mengakui bagian dari Suku Dayak, tetapi tidak sedikit dari Masyarakat ini tidak menyatakan dirinya sebagai Suku Dayak tetapi menyatakan dirinya sebagai Orang Desa, tetapi ada beberapa pola Adat dan Tradisi yang mirip Adat dan Tradisi Suku Dayak, dalam hal ini penulis belum menemukan jawabannya. Masyarakat Desa tersebar di Kecamatan Meliau, Kecamatan Toba dan kecamatan Tayan Kabupaten Sanggau, sebagian Balai Bekuak Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat.
Sebagian besar Masyarakat Desa bermata pencarian
berladang, masih banyak yang menggantungkan ekonomi nya dari komoditi Karet,
sebagai penyadap getah karet, namun sekarang sudah banyak Masyarakat Desa yang
memiliki Kebun Kelapa Sawit, sebagai Karyawan Perusahaan Swasta, Pegawai
Negeri, Aparatur Pemerintahan Daerah
Dari segi pendidikan, banyak anak-anak Masyarakat
ini menempuh pendidikan di kota kecamatan, kota kabupaten bahkan tidak sedikit
yang menempuh pendidikan Tinggi di pulau Jawa, hal ini yang membuat Masyarakat
Dayak Desa tidak kekurangan Sumber Daya Manusia yang professional.
Dalam urusan Adat, mereka sangat berpegang dengan
Hukum Adat dan Tradisi, hal ini yang mempengaruhi watak Khas dan kebudayaan Desa,
mereka sangat teguh memegang prinsip leluhur yang menjadi salah satu warisan
budaya. Hal ini yang penulis alami saat beberapa kali berkunjung ke Desa
Meranggau, Kecamatan Meliau, Kabupate Sanggau, Desa Meranggau juga merupakan kampung
kelahiran tokoh Masyarakat Kabupaten Sangau, yaitu Alm. Panglima Langgang,
masih sangat banyak pantangan (aturan) yang
tidak boleh dilanggar, baik Masyarakat lokal sendiri maupun para tamu
atau pendatang, oleh karena itu lah Desa Meranggau di juluki Tanah Bisa.
Dari segi Akademis, Penulis belum pernah melakukan penelitian secara mendalam, hanya berupa kisah, cerita yang diyakini oleh Masyarakat ini yang penulis dapatkan. Seperti kisah sejarah asal mula Masyarakat Suku Desa yang dituturkan oleh salah satu tetua kampung Bapak Fransiskus Aladin, dengan logat khas Desa dan intonasi yang berayun Beliau menuturkan dengan semangat tentang kedatangan "kelompok awal", mengapa penulis katakan "kelompok Awal"???? karena terbentuknya Masyarakat Suku Desa bukan dilakukan hanya oleh satu orang, melainkan sekelompok orang yang diyakini, mereka (kelompok) ini datang dari Tanah Jawa, Kerajaan Majapahit.yang keturunannya sekarang menamakan dirinya Desa, untuk kisah tersebut akan Penulis Publishkan suatu saat nanti dalam sebuah artikel tersendiri.....hehe...sabar mas bro...
Sampai sekarang masih terdapat barang-barang peninggalan "Kelompok Awal" berupa Bendera, meriam dan lain-lain yang di simpan dengan baik oleh keturunan langsung dari "Kelompok Awal". Bendera, meriam dan lain-lain tersebut baru dikeluarkan (diperlihatkan) pada khalayak ramai saat acara ulang tahun terbentuknya Desa Meranggau. Penulis juga pernah melihat secara visual, situs yang diyakini Makam pemimpin dari "kelompok Awal" yang ditandai dengan kayu belian ditancapkan ke tanah dalam bentuk tertentu.
Dari segi Akademis, Penulis belum pernah melakukan penelitian secara mendalam, hanya berupa kisah, cerita yang diyakini oleh Masyarakat ini yang penulis dapatkan. Seperti kisah sejarah asal mula Masyarakat Suku Desa yang dituturkan oleh salah satu tetua kampung Bapak Fransiskus Aladin, dengan logat khas Desa dan intonasi yang berayun Beliau menuturkan dengan semangat tentang kedatangan "kelompok awal", mengapa penulis katakan "kelompok Awal"???? karena terbentuknya Masyarakat Suku Desa bukan dilakukan hanya oleh satu orang, melainkan sekelompok orang yang diyakini, mereka (kelompok) ini datang dari Tanah Jawa, Kerajaan Majapahit.yang keturunannya sekarang menamakan dirinya Desa, untuk kisah tersebut akan Penulis Publishkan suatu saat nanti dalam sebuah artikel tersendiri.....hehe...sabar mas bro...
Sampai sekarang masih terdapat barang-barang peninggalan "Kelompok Awal" berupa Bendera, meriam dan lain-lain yang di simpan dengan baik oleh keturunan langsung dari "Kelompok Awal". Bendera, meriam dan lain-lain tersebut baru dikeluarkan (diperlihatkan) pada khalayak ramai saat acara ulang tahun terbentuknya Desa Meranggau. Penulis juga pernah melihat secara visual, situs yang diyakini Makam pemimpin dari "kelompok Awal" yang ditandai dengan kayu belian ditancapkan ke tanah dalam bentuk tertentu.
Masyarakat Suku Desa dan Masyarakat Suku Dayak (jika Desa tidak termasuk dalam rumpun Suku Dayak, karena belum melakukan penelitian secara mendalam penulis tidak berani menyebutkan Suku Dayak sama dengan Suku Desa atau Suku Dayak berbeda dengan Suku Desa, karena pengakuan dari Masyarakat ini sendiri berbeda beda) tetapi bagaimanapun, mereka tidak terlepas dengan jasa-jasa nya pada masa
lampau, mereka berjasa membebaskan Kota kerajaan Sanggau (sekarang Ibu kota
Kabupaten Sanggau) juga beberapa kota ainnya dari tangan penjajahan Jepang,
Pada masa lampau dikenal dengan sebutan Majang Desa.
Majang Desa adalah Gabungan kelompok-kelompok
Masyarakat Dayak yang berpusat di wilayah Desa. Perang Desa adalah sebuah perang kelanjutan dari Perang Majang
Desa yang terjadi pada zaman Belanda dan pertengahan zaman Jepang, yakni pada 1944-Juni
1945
yang dilatarbelakangi perlakuan Jepang yang sewenang-wenang terhadap Suku Dayak Desa.
Pada masa Kolonial
Belanda, ada sebuah perang yang bernama
Perang Majang Desa. Perang ini dipimpin oleh Pang
Suma, dan dalam catatan penulis Belanda,
diketahui benteng Belanda
yang letaknya di Sintang dan Sanggau selalu mendapat serangan tanpa henti dari
Orang Dayak, sehingga terpaksa mereka tinggalkan dan bertahan di Pontianak.
Selanjutnya, pada awal pendudukan Jepang di
Kalimantan Barat, dua buah perusahaan masuk ke
Kalimantan Barat, yakni Nomura di bidang pertambangan dan Sumitomo di bidang
perkayuan, Karena romusha yang diterapkan oleh Jepang, banyak yang mati
karena perusahaan perkayuan ini. Jepang mempekerjakan secara paksa orang untuk
menebang pohon dan merakitkan
kayu dan dihilirkan entah kemana. Begitu juga di bidang pertambangan, di lokasi pertambangan itu ada sekitar 10.000 orang dan di
daerah sekitarnya, yaitu wilayah Batu Tungau, ada sekitar 70.000 orang yang
bekerja disana, terbanyak adalah Orang Dayak.
Selain itu pula, tepatnya berkenaan
dengan Peristiwa Mandor,
pada tanggal 23 April
1943 banyak panembahan dan sultan-sultan
di Kalimantan Barat banyak yang ditangkap. Adapun, Sultan
Pontianak dan Panembahan Mempawah saja yang dilepaskan, sesudahnya mereka ditangkap dan tak
pernah kembali lagi. Ini membuat warga Dayak benci pada Jepang. Sultan
Pontianak mati dalam penjara; sedangkan anaknya, Pangeran Agung dan Pangeran
Adipati dipenggal kepalanya
Pada tanggal 13
Mei 1945, anak perempuan Pang Linggan (seorang tokoh masyarakat
Dayak Desa), yang mau dikawini oleh seorang mandor Jepang yang bernama Osaki dari
pekerja paksa pemotong kayu di Labea Sikucing di daerah Mendawak, sekarang di Tayan Hilir. Perkawinan ini dilarang oleh ayahnya, Pang Linggan. Pada
saat itu, mereka sedang kerja paksa,
mengerjakan kayu di Labea Sikucing. Osaki marah dan mengancam kan memancung
kepala Pang Linggan. Sehingga, daripada dibunuh duluan oleh pihak Jepang, lebih
baik membunuh duluan. Rakyat yang tak tahan oleh diinjak-injak dan ditindas
Jepang, maka mereka bangkit melawan Jepang dengan pimpinan Pang
Suma dan Pang Linggan.
Menurut catatan Syafaruddin Usman dan Isnawita
Din, dua orang sejarawan Kalimantan Barat, mereka menuturkan Perang Dayak Desa
berawal dari Peristiwa Suak
Garong. Kejadian ini bermula dari
pekerja-pekerja perusahaan kayu
SSKK (Sumitomo Shokusan Kabushiki Kaisan) dan KKK yang tidak mendapat upah yang
layak. Adapun pada masa itu, sebagian Orang Dayak yang beruntung mendapat
jabatan mandor atau pengawas. Lebih dari itu, mandor ini diperalat dan disuruh
untuk menjadi mata-mata buruh-buruh
kasar.
Buruh-buruh kasar itu dilarang
pulang untuk bertemu anak-istri. Sehingga pada suatu hari, beberapa orang
pekerja pulang ke rumah masing-masing karena tak mampu bekerja dikarenakan
kelaparan. Mandornya pada saat itu adalah Orang Jepang, namanya Yamamoto. Ia
digelari Tuan Pentong oleh warga sekitar. Yamamoto tahu, sehingga ia
mendatangi kampung itu dan memukuli siapa saja yang ia temui. Namun, yang ada
di kampung itu adalah Pang Rontoi, seorang tua dari kampung itu. Ia pukuli Pang
Rontoi namun beruntung Pang Rontoi membalasnya.
Sesudah kejadian ini, maka
dilaporkanlah kejadian-kejadian ini kepada Pang Dadan, tumenggung kampung tersebut sambil menyiapkan strategi untuk
bersiap-siap sambil bermufakat, akan menyerang Osaki. Esok harinya, Pang
Linggan, Pang Suma, dan sekelompok tokoh masyarakat lainnya menemui Osaki.
Secara tiba-tiba, Osaki menyerang mereka. Ia berkelahi dengan Pang Suma dan
Pang Linggan, namun Osaki meninggal tanpa perlawanan. Sesudahnya, warga desa
segera membuat pesta adat notong.
Pihak Jepang kaget. Mereka mengira
bahwa rakyat pedalaman yang tidak tahu teknik dan teknologi
persenjataan modern dapat mengalahkan tentara Jepang yang memakai teknik dan
perlengkapan modern.
Pertempuran pecah di perusahaan
kayu, suku-suku Dayak
dari Ketapang, hingga Sekadau berkumpul berkenaan panggilan dari mangkok
merah. Beredarnya mangkok merah ini
sebagai pertanda melawan Jepang. Ribuan rakyat datang dan berunding untuk
persiapan melawan Jepang Ditambah dengan pembunuhan Soetsogi, yang dilakukan
pekerja hutan perladangan
durian Pampang Sansat menambah kenyataan bahwa Jepang adalah musuh
yang perlu ditumpas
Peristiwa 2 pembunuhan ini tersebar
ke Pontianak, khawatir perlawanan ini tersebar ke wilayah lain,
Pemerintah Jepang segera mengirimkan ekspedisi ke Meliau. Di saat yang bersamaan pula, barulah mereka bermufakat
khawatir akan diserang Jepang.
Ekspedisi ini dipimpin oleh seorang perwira
senior, Letnan Takeo Nagatani Setelahnya, para pemuka adat segera mengirimkan Mangkok
Merah sebagai pertanda melawan Jepang.
Para pekerja yang bekerja di perusahaan kayu Nitinan segera diperintahkan untuk meninggalkan perusahaan
tersebut.
Di Tayan, Nagatani menghubungi dan
meminta keterangan Bunken Kanrikan Miagi. Dari Tayan ke Meliau menelusuri
Sungai Embuan menuju Tanjak Mulung. Perjalanan ekspedisinya ini ke Sungai
Embuan bertujuan untuk menumpas gerakan rakyat. Sementara itu, rakyat sudah
mengatur strategi pertahanan kekuatan di Suak Tiga Belas. Sesampai ekspedisi ini di Umbuan Kunyil, mereka mendapat serangan dari rakyat
dipimpin oleh Pang Suma,
Pang Rati, Pang Iyo, dan Djampi. Dalam serangan ini, Letnan Nagatani tewas
dibunuh oleh Pang Suma.
Sebelumnya, anak buah Nagatani melepaskan peluru ke arah Pang Suma. Maka, dalam kesempatan yang terjepit ini, Pang Suma dan Djampi menghabisi rombongan ekspedisi Nagatani yang tersisa. Selanjutnya, pada 24 Juni 1945, Pang Suma atau disebut juga Panglima Menera memasuki Meliau. Meliau sendiri berhasil direbut pada 30 Juni 1945. Waktu bersamaaan dengan A. Timbang bersama dengan sejumlah panglima adat lainnya, Pang Suma bertahan di Meliau.
Pada tanggal 17
Juli 1945, Pang Suma memerintahkan agar Meliau dipertahankan
habis-habisan. Pertempuran pecah, pada saat itu ia sedang didampingi beberapa
panglima adat lain. Di Pemura dan Temura, pecahlah pertempuran; Pang Suma
tertembak pangkal paha kirinya, sementara Apae dan Panglima Beli tewas
seketika. Tak lama kemudian, di sekitar Kantor Guntyo Meliau Panglima Ajun dan
Pang Linggan tertembak dengan luka yang parah, dan Pang Suma kemudian meninggal
dunia.
Sementara itu, Panglima Kilat
berhasil menggerakkan dan menyampaikan pengumuman Perang Dayak Desa terhadap
Jepang. Setelah 3 orang pimpinan mereka meninggal, Agustinus Timbang beserta
pasukannya yang semula terkepung berhasil meloloskan diri. Maka, semenjak 17
Juli 1945-31 Agustus
1945, Meliau dikuasai kembali oleh Jepang.
Meski sebetulnya Indonesia sudah merdeka semenjak 17
Agustus 1945, tetapi berita kemerdekaan tersebut belum sampai ke pelosok-pelosok Kalimantan
Barat. Maka dalam usaha mengusir
penjajah, M. Th. Djaman beliau adalah guru di Nyandang, dan sejumlah tokoh masyarakat lain dari
Balai Karangan, Bonti, Kembayan, dan Balai Sebut di antaranya YAM Linggi, melangsungkan pertemuan di Kapuas Sanggau. Setelah
diadakan perundingan, Agustinus Timbang melanjutkan gerakan bersenjata di Desa Lape.
Adapun Angkatan Perang Majang (APMD)
Desa kembali diaktifkan, didirikan pada 13
Mei 1944 dan dipimpin oleh Pang Dadan. Di kepengurusan awal ini, APMD dianggotai oleh sejumlah
pemuka adat, bahkan ada yang termasuk Orang Cina. Usaha APMD menyerang Sanggau
Kapuas berhasil, wilayah ini berhasil dikuasai. Namun demikian, pimpinan APMD
kecewa karena pewaris kekuasaan Kerajaan
Sanggau, Gusti Ali Akbar menyerahkan kekuasaannya ke Bunken Kanrikan setempat.
Sebagai akibatnya, kerabatnya, Gusti Ismail merasa adanya persimpangan jalan dan perbedaan dalam menghadapi Jepang.
Selanjutnya, Gusti Ismail dan Gusti
Sohor memutuskan bergabung bersama pimpinan APMD lainnya menyerukan pertempuran terbuka. Dalam
berbagai pertempuran, di kedua belah pihak banyak jatuh korban. Meski Jepang menyerah
kepada Sekutu, perlawanan rakyat tetap berlanjut. Bahkan, APMD memasuki Kota
Pontianak utnuk memerangi Belanda.
Pada Juni 1980, Laksus Pangkopkamtibda Kalbar, Untung Sridadi bersama gubernur Kalbar Soedjiman melakukan serah terima dari ahli waris APMD seperti YAM
Linggi, dan Agustinus Timbang berupa 5 tengkorak pasukan Jepang sewaktu Perang
Dayak Desa dan sebilah samurai
milik Takeo Nagatani. Selanjutnya barang-barang ini diserahkan ke Pemerintah
Jepang diwakili K. Tasima dan wakil keluarga Nagatani dan Yoshida dari Kedutaan
Besar Jepang di Indonesia di Jakarta untuk dibawa pulang ke Tokyo, Jepang.
Kondisi jalan menuju Desa Meranggau |
Motor ini jadi alat Transport pada saat ekspedisi |
Kondisi jalan tanah rusak |
Menyebrangi Sungai Kapuas menggunakan perahu kecil |
Artikel ini, penulis dedikasikan untuk orang Desa terima kasih atas keramahanya.
Sumber :
1.
Usman
& Din 2009, hal. 88,89
2. Wikipedia
3. Bapak Fransiskus Aladin (Pang Pri)
4. Dari berbagai sumber
3. Bapak Fransiskus Aladin (Pang Pri)
4. Dari berbagai sumber
Keren bg Ari .... :) .. (y)
ReplyDelete